Kamis, 28 Mei 2009

SILUET PERSAHABATAN

“Hati-hati ya, Dek. Kalau ada yang main fisik, lapor aja,” untaian nasehat itu terujar dari mulut Bang Tino yang tengah bersiap-siap menggas motornya kemballi.
“Oke deh. Makasih ya,” jawabku singkat. Deruan gas motor dan kepulan asap mengiringi laju motor tua itu.
Aku berbalik menatap gerbang emas bertuliskan nama Universitas ternama di kotaku. Kilauan kilatnya tampak menari indah yang dalam pengelihatanku mengukirkan kata selamat datang para pencari ilmu. Aku mendesah dengan Bismillah. Udara pagi bumi menyejukan rongga pernafasanku sekaligus menyiramkan hawa dinginnya ke seluruh tubuhku.
Riuh terdengar suara yang lain. Menyaingi ributnya itik yang entah kenapa menjadi tumbal untuk upacara sakral ini. Kutarik itikku yang semalam kubeli dari Nek Tiyem. Dengan berat menahan beban di punggung serta aksesoris jahil di badan, kuberanjak mencari grupku.
“Gimana ney, aku nggak dapat itik. Semalam ngerjain nih tali,” sambut Rea sembari menunjuk umbaian tali rafia di pinggulnya. Kujawab dengan mengangkat bahu.
“Udah, nggak papa kok. Paling dimarahin,” ujarku menghibur namun malah membuatnya tertegun. Wajah imutnya tertekuk panik.

“Untuk Fakultas Hukum langsung masuk ke area kampus, sekarang!” terdengar berat suara bariton dari sebuah toa. Beberapa makhluk yang kukenal berlari terseok mengimbangi itiknya yang berkejaran. Aku tak mau repot. Dengan sayang kuangkat itik yang semalam diberi nama Joy oleh Bang Toni. Lalu mulai berlari mengikuti arus mahasiswa Hukum lainnya.
Sekejap sudah terbentuk 10 barisan yang menghadap tetua-tetua kampus yang berlagak sok mengecak pinggang. Sengaja kupilih barisan terakhir, karena malas melihat wajah-wajah tengik yang haus kehormatan dan mungkin berpeluh dendam. Rea yang di depanku masih terlihat cemas karena tak membawa simbol mahasiswa baru Fakultas Hukum 2006.
“Hey, yang terlambat. Sini kalian!” bentak seorang mahasiswi yang entah tingkat berapa memanggil anggota maru yang terlambat. Wajah-wajah lesu dengan mata kantuk yang tak bisa ditutupi berjalan menuju para tetua-tetua itu.
Aku malas melihat adegannya. Dengan sembunyi aku malah mengeluarkan segenggam makanan Joy yang kusumputkan di saku bajuku. Kasihan dia belum sarapan, batinku. Joy mematuk-matuk serpihan jagung itu dengan nikmat. Aku tersenyum. Yah, ini tontonan lebih baik dari pada melihat muka bersalah dari mahasiswa tertuduh. Atau muka-muka bahagia dari senior-senior pendakwa.
“Semuanya coba lihat kemari. Coba beritahu apa kesalahan-kesalahan dari teman-teman kalian yang pembangkang ini,” ujar salah satu senior membangkitkan rasa penasaranku. Dengan malas kuolengkan wajahku menatap mereka. Namun silau matahari yang baru muncul membuat mataku menyipit.
“Terlambat, Kak,” ujar beberapa anak serempak. Aku diam saja, lebih memilih tak jadi pengkhianat dengan memaki kesalahan pada teman seperjuangan.
Tapi, tunggu. Siapa wanita itu? Suara-suara berisik masih membilang kesalahan mereka. Aku tak ambil pusing. Rasa penasaran pada wanita yang baru kulihat sekarang, membuatku tak fokus lagi. Sepertinya dia sadar aku memperhatikannya. Mata kami beradu dan saling berkomunikasi. Seakan berbincang tentang kenestapaan dan acara tak penting ini. Senyumku terukir. Begitupun dia. Yah, sebuah awal yang indah mungkin.
“Sebagai hukumannya, kalian berempat lari keliling lapangan kecuali kamu yang pake jilbab putih!” bentak salah seorang senior lagi. Yang lain menurut. Aku menatap iba pada saudaraku di seberang sana.
“Saya baru lihat kamu! Kenapa kamu nggak datang kemarin?” bentak seorang senior wanita yang tadi memerintahkan lari keliling lapangan. Wanita berkerudung putih kusam dengan sendu melirik ke bawah.
“Heh, kamu dengar nggak kalo ditanya?” masih bentaknya. Yang lain senyap. Kecuali beberapa itik yang sedari tadi ribut karena dikekang.
“Ibu saya semalam sakit, Kak,” jawabnya lirih namun terdengar hingga kebelakang. Ke telingaku.
“Oh, ibu nona cantik ini sakit toh. Terus, apa hubungannya dengan kami? Tuan putri mau ibunya kami antar ke rumah sakit?” kali ini suara senior lelaki yang disambut sorakan seru dari para senior lainnya. Huh, ingin kurobek mulut-mulut jahil yang telah menurunkan harga diri sahabat baruku itu.
“Untuk kelompok satu. Silahkan lepas itik yang kalian bawa!” perintah lelaki tadi. Kelompok di sebelahku tanggap dan melepaskan itik-itik mereka yang kini berlarian di area kampus.
“Nah, tuan putri, tugas kamu sekarang tangkap itik-itik itu dan bawa ke sini. Harus lengkap. Sekarang!” bentaknya.
“Ayo tangkap!” susul temannya.
Dengan lesu ia mengejar itik-itik berkeliaran yang tak mau ditangkap itu. Otakku memerintahkan mengejar dan membantunya. Namun entah siapa, ada yang memakukan ujung sepatu ketsku hingga masih berada di tempat semula.
Tak tega melihatnya berkeringat mengejar itik yang baru tertangkap satu dua. Riuhan suara tontonan senior dan senyuman para maru mengiringi geraknya menangkap itik. Sakit. Kutundukkan wajahku memilih menatap bumi.
“Sekarang yang tidak lengkap peralatannya silahkan maju,” teriak seorang wanita mengalihkan pandangan semua dari sahabat berkerudung putihku.
Aku menatap Rea. Tungkainya terlihat melemas. Yah, kali ini gilirannya yang dibantai. Aku memeriksa barang-barangku. Kelihatannya lengkap. Syukurlah. Karena bantuan abang tersayangku dan penghuni rumah lainnya aku bisa mengerjakan semuanya. Lengkap.
Sebagian anak menunduk berjalan menuju senior yang tersenyum mendapat pekerjaan baru. Aku hanya melirik iba. Perpeloncoan itu dimulai. Arena yang katanya ajang balas dendam para senior. Atau arena ngeri dan deg-degannya para yunior. Aku hanya menyimpan rapi kata-kata batinku yang mencerca tentang acara yang tak bermanfaat ini.
***
Terik matahari jam satu an itu, membentang tanpa ampun di atas kami. Entah sebagai bukti tak sukanya Allah hambanya disakiti. Atau memang beginilah tugas sang surya di atas sunatan illahi.
Kelompok terakhir itu pun datang juga. Melewatiku menyerbakan hawa keringat yang tak sedap. Wanita berkerudung putih berjalan melewatiku dan tersenyum. Kutebak senyuman pemberi semangat. Kubalas tulus. Sayang, waktu istirahatnya terlalu singkat. Tak ada waktu berbicara lisan sekedar mengucap salam atau menanyakan nama. Tapi kuyakin, hati kami tetap berkomunikasi. Yah, sebuah komunikasi kuat dan erat yang bernamakan ukhuwah.
“Sekarang, kami ingin memperkenalkan sesuatu pada kalian,” ujar seseorang setelah kelompok terakhir itu membentuk satu berisan. “Makam ini, adalah makam salah satu pahlawan pendiri kampus ini. Namanya Sultan Kusumo. Tapi kita memanggilnya dengan sebutan makam Mbah Kusumo. Nah, sekarang kalian berjalan melewati makam ini dengan menunduk dan mengucapkan ‘numpang lewat Mbah, ampuni kami. Jangan sakiti kami’, Gitu. Sekarang ya, mulai dari kelompok 1,” jelasnya kembali. Aku mengenalnya sebagai ketua ospek Fakultas.
Aku deg-degan. Menggadaikan salam penghormatanku kepada makam yang isinya entah diapakan di alam baka sana? Huh, jangan harap. Penghambaanku pada Tuhan ogah kugadaikan.
Mataku melirik ke perempuan yang kusebut sahabat. Mencoba meminta pendapat. Rona parasnya sama. Cemas, namun tegas. Kembali mata kami berbincang. Aku mengagguk dan mengerti maksudnya. Senyum lagi terukir.
“Sekarang kelompok dua,” laki-laki itu memerintah ke kelompokku. Kembali aku mendesah dengan Bismillah.
Lama terasa, akhirnya sampai jua ke tempat yang katanya dikeramatkan itu. Terus kuberjalan. Namun, tidak. Tidak sambil menunduk seperti yang lain. Yah, kuberanikan diri berjalan tegap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ini hanya tempat peristirahatan terakhir. Bukan Tuhan tempat sesuatu meminta, batinku. Sesampainya di seberang sana, tidak ada apa-apa. Kelompok berikut melanjutkan hingga kelompok terakhir. Sikap yang sama kulihat pada wanita berkerudung putih. Aku yakin, pikir hatinya sama denganku.
“Baik, sekarang kalian ikuti pemandu gugus masing-masing untuk tugas berikutnya. Kecuali kamu yang pakai jilbab biru!”tunjuknya kepadaku. Aku menengadah. Aku? “Dan kamu yang jilbab putih,” lanjutnya menunjuk sahabat baruku.
Semua pun berlalu. Meninggalkan aku dan seorang teman serta beberapa senior yang terlihat bengis menatap kami.
“Kalian berdua kemari,” perintahnya. Dengan tak suka kuturuti. “Kenapa kalian nggak menunduk dan hormat pada Mbah Kusumo? Sudah merasa hebat?” tanya sang ketua ospek. Kami memilih diam.
“Jawab!” bentaknya.
“Kami nggak mau berbuat syirik, Kak,” alasanku diwakilkan oleh wanita ini.
“Saya tidak menyuruh kalian menyembah makam ini. Cuma lewat. Sekarang ulangi!” perintahnya. Kami tetap mematung. “Cepat!” bentaknya, lagi kami mematung.
“Kalian tidak mau?” tanyanya. Kami serempak menggeleng.
“Baik, hukumannya. Sekarang kalian lari keliling lapangan dengan mengatakan ‘kami sok suci’ sekarang!” perintahnya. Yah, daripada berdosa. Kami pun mulai berkeliling lapangan.
***
Matahari keesokannya terlihat sama garangnya. Tajam menghujam hingga menusuk ke bawah jilbabku. Dengan pakaian yang sama dengan kemarin, kurapatkan barisanku dengan yang lain.
“Sekarang, kalian diberi waktu 2 jam untuk meminta tanda tangan pada senior,” ujar seorang wanita kepada kami.
“Tapi sebelum kalian meminta tanda tangan, kalian wajib meminta tanda tangan dari ketua Ikatan Fakultas Hukum dan ketua OSPEK. Yang laki-laki silahkan meminta tanda tangan dari Kak Susan ketua Ikatan Fakultas Hukum di sana,” jelasnya menunjuk ke arah wanita berbadan agak gemuk dan kurasa panitia tergalak itu.
“Silahkan rayu kakak itu. Untuk yang wanita, minta tanda tangan pada ketua OSPEK, Kak Erik. Rayu sampai dia mau ngasih tanda tangan. Kalau perlu kalian elus kek pipinya, atau dipuji sampai dia mau. Kalau belum dapat, kalian tidak akan dapat tanda tangan dari senior lain,” lanjutnya.
Beberapa mahasiswa langsung menyerbu. Meninggalkan aku dan mungkin juga sahabat baruku yang memaku. Aku wanita. Aku muslimah. Apa pantas mengemis-ngemis pada seorang lelaki dengan menjatuhkan harga diri?
“Kalian lagi! Kenapa diam saja? Cepat bergerak!” bentak wanita tadi. Aku masih terdiam.
“Mau di hukum lagi?” tanyanya. Geram kutatap mata menyebalkan itu.
“Eh, melotot lagi. Hukuman untuk kalian berdua. Kamu sapu semua sampah yang ada di kampus ini. Dan kamu, karena berani melotot pada senior, lari keliling lapangan sepuluh kali. Dalam waktu 10 menit. Kalau nggak selesai, hukuman kalian ditambah. Cepat!” lanjutnya kesal.
Aku mulai berlari. Dan sahabatku mulai menyapu sampah-sampah yang berserak. 10 menit? Yang benar saja. Di SMA saja perlu waktu 12 menit untuk mengelilingi 5 kali lapangan ini. Baru hitungan ke 3, nafasku tersengal. Mataku berkunang. Hampir terjerembab menyusuri jalan. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Ini lebih baik dari pada menjatuhkan harga diriku sebagai wanita. Mataku terlirik pada teman baruku. Senyum semangatnya terkembang. Aku harus berusaha.
“Stop, sudah sepuluh menit. Gimana sih? Sesuai perjanjian hukuman kalian ditambah. Sekarang, kalian berdiri di bawah bendera itu, hormat sampai dua jam kemudian. Sekarang!” bentak wanita tadi.
Aku masih mengatur nafasku yang tersengal. Sungguh aku tak kuat lagi. Seberat ini kah yang harus kubayar? Ya, ini kebenaran, batinku. Kami berdiri menengadah menatap bendera di atas sana. Aku mulai goyah. Aku tak kuat.
Genggaman erat kurasakan dari sampingku. Genggaman semangat dengan bumbu sayang dari sahabat yang tak kutahu namanya. Kubalas genggaman tangannya. Yah,ini lebih baik. Ini lebih baik. Batinku berulang-ulang. Genggam kami menguat. “Bertahanlah, ini kebenaran,” bisiknya.
Read More..

Selasa, 07 Oktober 2008

Bukan Sekedar Pahlawan

Azan Ashar sudah lama menggema. Para penghuni masjid, tampak telah usai menunaikan panggilan Rabb mereka. Satu persatu, masyarakat yang ikut melaksanakan shalat Ashar bersama, meninggalkan masjid. Namun tidak semua yang berlalu, masih ada sekitar 20 pemuda yang tampak enggan melangkah keluar mesjid.
Pemuda-pemuda tersebut tanpa dikomandoi langsung membentuk lingkaran. Menanti pimpinan mereka yang belum selesai membaca kitab suci Al-Qur’an. Terlihat guratan semangat dalam wajah mereka untuk merebut kembali kedamaian mereka yang dirampas oleh penjajah biadab.
Setelah puas ‘berbincang’ dengan Rabb-Nya, pemimpin yang dinanti langsung menggabungkan diri ke dalam lingkaran. Semua orang tersenyum menyambut, selalu ada kekuatan semangat jika telah bertemu sosok ini. Sosok yang sangat di takuti keberadaannya oleh tentara Belanda.
Pertemuan itu pun dimulai. Setelah bertahmid dan bershalawat, Ahmad Farhan, pemimpin para pemuda itu langsung menuju ke topik pembicaraan.
“Serangan kita selanjutnya adalah markas besar Belanda yang ada di Sungai Penuh, masih dengan cara yang sebelumnya. Saya harap penyerangan ini akan memukul mundur penjajah dari Sungai Penuh. Jika daerah itu sudah kita kuasai, hubungan kita dengan luar Jambi akan berjalan lancar. Kita bisa menguhubungi pejuang-pejuang lain di kota Padang, untuk membantu membebaskan Sarolangun, Bangko dan Tebo.” Ungkap Abdul Aziz panjang lebar.
Terlihat semua pemuda disana begitu khidmat mendengarkan keterangan dari pemimpin mereka. Mereka hanyalah satu dari banyak kelompok kecil lainnya di Bumi Sakti Alam Kerinci yang menentang kedatangan Belanda ke Jambi. Di luar sana, masih banyak lagi kelompk kecil lainnya yang disebut oleh penjajah Belanda sebagai pemberontak. Saat mereka sedang serius membicarakan strategi apa yang harus dijalankan besok, tiba-tiba seseorang datang dengan tergopoh-gopoh. Sekujur tubuhnya bersimbah darah.
“Assalamu’alaikum... Ustadz.Farhan, Adaoa marsose kek perbatasan, uhang tuh nak ki niek, lari keh..”(1) ujar laki-laki tua itu. Semuanya terpana dalam keterkejutan.
Dengan perintah Ustadz. Farhan, begitu warga kerinci memanggilnya, beberapa pemuda langsung membawa laki-laki tua itu ke rumah penduduk setempat. Menurut laki-laki itu, serdadu Marsose dengan brutal menembaki rakyat yang tidak mau memberi keterangan dimana Ahmad Farhan berada. Marsose adalah sebutan untuk tentara bayaran Belanda yang ditugaskan mencari otak dari pemberontakan di berbagai daerah di Nusantara.

***
“Kamu geriliyawan ya...!”, bentak Marsose bengis sambil menghunus bayonet ke dada Iskandar matanya yang tajam menahan geram.
“Saya Petani, Tuan” jawab Iskandar. Sebelum menjadi pengikut Ahamad Farhan, ia memang seorang petani.
Saat Belanda mulai masuk ke Kerinci, Iskandar muda sudah sering melihat kebengisan penjajah. Puncaknya, saat ayahnya yang menolak bergabung dengan para pengkhianat disiksa oleh tentara Belanda. Didepan matanya, tubuh ayahnya diseret oleh penjajah dengan jip hingga tewas. Ibunya, di nodai dan dibunuh didepan matanya. Ia berhasil kabur saat itu, saat tangan sang paman membawanya pergi ke hutan.
Iskandar yang masih shock dengan apa yang ia lihat hanya pasrah ketika adik ibunya itu membawanya menjauh tanpa sepengetahuan serdadu penjajah. . Di tempat pengasingan ia dikenalkan dengan Ahmad Farhan. Sejak saat itu, dirinya resmi menjadi anggota geriliyawan.
“Kamu tahu dimana Ahmad Farhan, hah!” bentak yang lain. Hanya ada lima tentara Marsose di ruangan itu.
“Tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa-apa kecuali tentang sawah” jawab Iskandar. Penampilan para pengikut Ahmad Farhan, memang layaknya seorang petani. Hal ini bertujuan agar tentara Belanda tak curiga.
Salah seorang Marsose menuju ke arah Iskandar sambil menghunuskan pisau. Disaat seperti ini, pemimpinnya mengajarkannya untuk tetap tenang.
Allah, sungguh aku tidak takut dengan kematian. Aku hanya takut padaMu. Lindungi hambaMu ini ya Rabb.... Berikan kekuatan kepada hamba, untuk selalu ada di jalan juang ini... Batin Iskandar sibuk berdoa dan berdzikir.
Paras mukanya tetap datar. Hal ini lah yang membuat Penjajah Belanda bingung. Dari sekian banyak pemberontak yang di tangkapnya, tak satu pun dari mereka yang mau berkerja sama. Tak satupun dari mereka takut dengan ancaman-ancaman mengerikan yang mereka lontarkan. Meskipun, penjajah dengan kejam menyiksa mereka, mereka tetap kukuh dengan pendiriannya. Bahkan, saat kematian menjadi alternatif terakhir yang diberikan penjajah kepada mereka, mereka tetap bisa tersenyum. Seolah itulah yang mereka nantikan.
“Tadi Ahmad Farhan, shalat bersamamu kan?” tanya mersose itu sambil mengiriis pundak Iskandar dengan belatinya. Iskandar menjerit tertahan menahan sakit.
“Jangan siksa saya. Saya petani, Tuan” Iskandar masih bersikukuh. Dzikir di hatinya semakin memacu. Allah.... lindungi hamba...
Marsose yang tampak bosan dengan aksi diam Iskandar berdiri dan memerintahkan mersose yang lain untuk bertindak.
“Bawa dia ke rumah siksaan” ujarnya.

***
Iskandar tampak tenang saat tentara Marsose, membawanya dengan kasar. Ia di bawa ke sebuah rumah yang cukup luas dengan halaman yang tak terurus, rumput dan ilalang tumbuh dimana-mana.
“Ayo masuk” bentak seorang tentara. Iskandar terungkur saat Marsose penjajah mendorongnya lagi dengan lebih kasar. Tertatih dia berdiri sambil menahan sakit di dada bekas dihantam bayonet Marsose, belum lagi luka menganga di pundaknya yang tadi di sayat oleh Marsose lain.
Ruangan rumah itu cukup lebar dari sudut-sudutnya tercium bau anyir. Bau darah manusia. Iskandar pernah mendengar tentang rumah ini dari Ahmad Farhan, rumah penyiksaan bagi pejuang-pejuang Kerinci yang memberontak terhadap tentara Belanda. Di dinding dan lantai rumah itu, terlihat bercak-bercak darah yang telah membeku. Sangat ketara bahwa telah terjadi penyiksaan terhadap para tahanan disini.
Iskandar di masukan secara paksa ke salah satu kamar di rumah itu. Kesan pertama saat baru memasuki kamar itu adalah pengap, sepertinya sengaja dikondisikan demikian untuk menekan keberanian tahanan secara psikologis. Udara yang tak bergerak dalam ruangan membuat bau anyir darah manusia menyesakkan ruang pernapasan Iskandar, terbatuk ia menangapi hawa aneh dari ruangan itu. Untungnya, dengan segera ia dapat menyesuaikan diri.
Dia tak sendirian diruangan itu. Di sudut ruangan ada seseoarang yang terbaring lemah. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Kelihatannya ia baru saja disiksa.
Iskandar tak tahu, orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Ia batalkan kehendaknya menghampiri orang itu, karena teringat ia belum shalat Magrib. Iskandar bergegas mencari daerah yang menurutnya cukup bersih, dan bertayamum disana. Kemudian, shalat magrib dilanjutkan dengan membaca Al-Quran. Anggota pasukan geriliyawan pejuang muda Kerinci pimpinan Ahmad Farhan memang dituntut untuk menghapal Al- Qur’an.
Dengan lirih dia membaca ayat demi ayat surat At-Taubah. Jiwanya menggigil saat membaca ayat peringatan dari sang pencipta. Peringatan yang keras apabila hambaNya menolak untuk berjihad. Namun disaat yang lain, Iskandar kembali bersemangat saat ayat-ayat berisi ampunan dan balasan yang akan diperoleh, selama dia tetap berada dalam jalan juang ini, untuk menegakkan yang haq dan meruntuhkan yang batil.
Saat melantunkan ayat-ayat suci, pipi Iskandar yang menghitam basah oleh deraian air mata, lisannya lirih dalam dzikir dan munajat kepada Allah. Dalam kenikmatan mengadu itu, ia menyadari bahwa Isya pun telah bertandang. Iskandar menunaikan kewajibannya dengan begitu khusyuk.
“Tak ada gunanya shalat disini” sebuah suara mengejutkan Iskandar, yang baru saja menutup ibadahnya dengan doa.
Iskandar menatap pemuda itu, kira-kira lebih muda dari usianya. Iskandar tersenyum dan melangkah menghampiri sang pemuda. Tangannya terjulur, mengajak pemuda itu berkenalan.
“Aku Iskandar. Kayo(2) siapa?” sapa Iskandar ramah. Pemuda berwajah letih itu menyambut uluran tangan Iskandar, nyaris tanpa senyum.
“Darma” jawab pemuda itu singkat. Posisi pemuda itu tak lagi terbaring. Entah kekuatan dari mana dia bisa mendudukan badannya.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Iskandar, setelah duduk disebelah pemuda bernama Darma itu.
“Dulu aku juga sepertimu. Mengharap perlindungan Tuhan, dari penyiksaan-penyiksaan Belanda. Shalat dan ibadah lainnya tak pernah tinggal. Namun lama kelamaan aku baru sadar, bahwa Tuhan itu tidak akan membantu orang-orang seperti kita. Dia hanya mau membantu orang-orang seperti Marsose kejam itu” jelas Darma. Nada bicaranya mengisaratkan bahwa dia sangat benci dengan penjajah.
Iskandar hanya tersenyum menjawab pertanyaan pada pemuda itu. Namun, sekilas ada perasaan ngeri di hatinya. Akankah ia tak bisa mempertahankan pendiriannya? Akankah dirinya akan menjadi pengkhianat negara dan agamanya?
“Kau salah teman. Allah itu selalu menolong hambaNya yang benar. Tapi, sudahlah. Ngomong-ngomong sepertinya kau sudah lama ada di rumah ini?” tanya Iskandar mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membuat emosi teman barunya ini meluap lagi.
“Tiga bulan yang lalu. Saat desaku dijarah oleh Marsose sialan itu. Aku tertangkap setelah meludahi muka Marsose yang hendak menodai adikku.” Jawabnya. Matanya menatap Iskandar kosong. Seolah sedang membayangkan peristiwa yang sepertinya cukup membuatnya murka.
“Maaf. Aku tak bermaksud mengingatkan kenangan yang kau alami,” kata Iskandar sopan. Pemuda itu, untuk pertama kalinya tersenyum. Terlihat satu gigi depannya patah. Iskandar mengira, pasti karena siksaan penjajah.
“Tidak apa-apa. Kalau kau? Kenapa bisa ada disini?” tanya Darma. Kelihatannya dia mulai bisa bersahabat.
“Kalau aku, tertangkap karena mereka melihatku shalat berjamaah dengan Ahmad Farhan,” jawab Iskandar.
“Heh, Ahmad Farhan rupanya. Pejuang licin yang sering menjadi bahan perbincangan para Marsose disini,” sahut Darma. Suara gebrakan pintu kamar ruangan itu, membuat mereka berhenti berbicara. Seorang Marsose masuk dan membawa sebuah ember. Ia melemparkan ember itu sekenanya. Darma yang sepertinya telah terbiasa dengan hal itu, mencoba menangkap embernya. Untungnya berhasil.
“Itu makan malam kalian. Jangan ada suara. Aku mau, jika nanti aku kesini lagi, ember itu telah kosong dan mata kalian telah terpejam,” kata Marsose singkat. Setelah pintu tertutup, Iskandar menatap Darma yang ingin memulai makan.
Ember itu berisi nasi yang telah dilembekan oleh air. Iskandar menahan mual diperutnya. Itu seperti makanan anjing pemburu para petani Kerinci.
“Kau tak usah jijik. Hanya inilah sumber kekuatan kita nantinya. Mereka hanya memberikan makanan kepada kita hanya malam hari” kata Darma. Diraupnya nasi berair itu dengan tangannya yang memerah karena darah. Di wajahnya tak terlihat guratan jijik sedikitpun. Sedangkan Iskandar, sudah hampir muntah dibuatnya.
Setelah agak lama makan dari ember itu, Darma kembali menatap Iskandar.
“Aku tahu kau tidak biasa dengan makanan ini. Tapi, seperti itulah disini. Mereka memang memperlakukan kita seperti binatang. Makanan anjing ini buktinya. Kalau kau tak mau makan, aku habiskan” kata Darma. Iskandar menggeleng lemah. Nafsu makannya telah hilang. Seperti orang yang tak makan berhari-hari, Darma meraup lagi makanan itu.
Iskandar memilih membaringkan tubuhnya. Lebih baik ia menistirahatkan tubuhnya yang telah lelah.
***
Iskandar menahan sakit di tangan kirinya, yang dipanggang Marsose diatas bara merah tadi. Kulit yang memerah mengelupas dikipasnya perlahan.
“Biarkan saja luka itu. Lama-lama juga kering” sambut Darma. “Aku juga pernah mengalami itu”.
Iskandar meringis. Ia hanya menurut pada saat seorang Marsose membawanya sehabis shalat subuh. Iskandar hanya pasrah dengan apa yang mereka sebut sarapan.
Lisan Iskandar terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah ingin melupakan sejenak rasa pedih ditangan kirinya.
“Aku heran. Kenapa sih tak kau beri tahu saja Ahmad Farhan berada. Kalau aku punya kesempatan sepertimu, sudah pasti aku tinggalkan neraka ini” tanya Darma. Tangannya membantu Iskandar mengipas-ngipas lukanya.
“Karena Allah”jawab Iskandar. “Aku lakukan semua ini karena Allah” lanjutnya.
“Apa hubungannya Allah dengan semua ini? Kau lihat, Allah sama sekali tidak membantu kita. Kita sudah kalah Bung. Indonesia sudah kalah” bantah Darma.
“Allah pasti membantu kita Darma. Mungkin saat ini Dia belum mengijinkan kita untuk menang. Tapi yakinlah, kebenaran itu pasti menang”kata Iskandar tenang.
“Iya. Tapi kapan? Sampai kiamat? Kita ini sudah dijajah Bung. Sangat mustahil bisa bebas” kata Darma emosi.
“Insya Allah Dar. Insya Allah. Tidak ada yang tak mungkin bagi Allah. Dia tidak akan mengingkari janjiNya. Suatu saat pasti kita kan bebas. Mungkin, saat ini Allah ingin melihat siapa saja hambaNya yang ikut berperan dalam kemenangan itu. Siapa saja yang ingin membela agama dan bangsanya. Dan tentu saja, kau tak mau jadi orang yang merugi kan?” kata Iskandar.
Darma terdiam mencermati kata-kata Iskandar. Betapa teguh pendirian pejuang ini. Seandainya semua orang memiliki pendirian seperti dia, tentu kemenangan itu akan terwujud.
***
Tinggal semalam saja dirumah ini, cukup membuat para tahanan yang tak tahan uji untuk buka mulut. Setiap waktu tak henti-hentinya suara pekikan tahanan yang disiksa oleh penjajah Belanda membahana keseluruh penjuru rumah. Kadang suara laki-laki, tak jarang perempuan, orang tua, bahkan pernah pula terdengar suara anak kecil yang menangis memanggil ibunya. Iskandar paham betul bagaimana perasaan anak itu, sebagaimana yang ia rasakan ketika orang tuanya di bantai oleh penjajah biadab. Semakin berkobarlah kebenciaannya pada Penjajah Belanda.
Malam ini, dengan tubuh lemah dan muka babak belur di kamarnya, Iskandar mendengar teriakan dari seorang pemuda yang telah seminggu ini menjadi temannya. di ruang penyiksaan. Teriakan memelas, diiringi derai tawa dari Marsose. Iskandar teringat tentang apa yang dilakukan Marsose tadi padanya. Didudukan di sebuah kursi dengan tangan terikat, muka disunsut rokok, kuku ibu jarinya dicabut, lalu luka-luka yang baru itu ditaburi garam halus. Pedih, tapi takkan sepedih azab Allah yang Maha Adil di akhirat nanti untuk mereka yang mendustakan hari pembalasan.
Setelah satu persatu tentara Marsose puas menghajarnya, Iskandar kembali disuguhi pertanyaan dimana Ahmad Farhan berada. Namun ketakutannya pada Allah lebih besar dari rasa takutnya pada Marsose itu. Dengan hati yang terus berdzikir dan lisan yang hanya menjerit menahan rasa sakit disekujur tubuh, ia tetap bungkam. Keputusan tetaplah keputusan. Bagi seorang pejuang seperti Iskandar, pantang mengambil keputusan karena makhluk. Keputusan karena Allah, tentu saja lebih mereka pertahankan, keputusan yang kadang beresiko tinggi. Besok eksekusi matinya digelar.
Iskandar tak ingin menambah dalam sakit batinnya mendengar teriakan mengiba itu, ia sengaja melayangkan pikiran untuk sedikit meredam kepedihan. Seandainya Iskandar tak tertangkap oleh tentara Marsose saat penyerbuan di masjid itu, mungkin malam ini ia sedang bersantap malam dengan teman-temannya di hutan sana, menikmati gurihnya ubi bakar atau singkong rebus yang diiringi dengan serita sedih atau lucu para geriliyawan lainnya.
Setelah makan malam, biasanya pemimpin mereka memanggil mereka untuk membicarakan apa yang akan mereka lakukan malam itu. Selalu saja ada rasa ingin tahu dari para pejuang, siasat jitu apa lagi yang akan diutarakan oleh sang pemimpin. Setelah rapat kecil itu selesai, mereka mulai menjalankan tugas. Di tengah malam, saat semua orang mulai lelap termasuk penjajah Belada yang mulai lengah terbuai sejuknya tiupan angin malam, mereka beraksi. Dengan bambu runcing di tangan, para geriliyawan merayapi tanah hitam yang lembab.
Saat waktunya telah tepat, Pemimpin mereka, Ahmad Farhan, akan memberikan kode suara burung hantu tiruan. Tentu saja, hanya mereka yang mengerti. Setelah itu, mereka yang sebelumnya telah mengepung tempat itu menyerbu Kamp Belanda dari segala penjuru. Penjajah yang kaget mendapat serang tiba-tiba hanya bisa menembakan perulu secara membabi buta.
Tentu saja itu sudah di perhitungkan. Berkat latihan yang di berikan oleh panglima mereka, dengan mudah mereka menghindari peluru-peluru yang berseliweran tanpa arah. Cukup dengan melempar bambu runcing yang sedari tadi mereka pegang, begitu senjata sederhana itu menancap didada penjajah, mereka rampas senjatanya. Setelah membebaskan tahanan, mereka kabur kehutan sebelum tentara bantuan datang. Sederhana, namun cukup membuat pertahanan Belanda kocar-kacir.
Itulah yang selama ini menggeramkan Belanda. Para geriliyawan, yang hampir semuanya adalah penduduk asli Kerinci, lebih menguasai medan, terlebih lagi hutan. Mereka dapat dengan mudah bersembuyi di hutan atau menyamar sebagai penduduk biasa. Wajarlah mereka menjadi buruan nomor satu tentara Belanda di Kerinci. Terlebih, pimpinan mereka, Ahmad Farhan, pria muda yang dikenal sebagai ustadz di desa-desa di Kerinci namun dikenal juga dengan pemberontak terlicin oleh Belanda.
Memang, masih banyak Ahmad Farhan - Ahmad Farhan lainnya di masa itu. Namun tentara Belanda lebih takut kepada sosok cerdik ini. Penyamarannya yang lihai sering kali menipu tentara lainnya. Walaupun telah bertatap muka langsung, penjajah Belanda sering terkecoh karenanya. Siasatnya yang jitu, benar-benar memporak porandakan pertahanan Belanda.
Huh, Iskandar mendesah. Tidak, ia tidak boleh menyesal. Toh, jika besok tiba ajalnya, ia lebih suka mati dalam keadaan seperti ini. Iskandar kembali teringat kata-kata sang pemimpin, orang yang terus berada dalam jalan kebenaran hingga maut menjemputnya, ada balasan yang tidak tanggung-tanggung; surga, yang hanya didapatkan oleh orang-orang terpilih.
Tiba-tiba suara teriakan Darma menjadi senyap.
“Buang dia ke hutan” terdengar sayup suara bariton dari kejauhan. Degup jantung Iskandar kembali berdebar. Tak terasa, air hangat di matanya mengiringi kepergian sang sahabat.
***
Siang itu, matahari menjadi garang, sinarnya yang terpancar seolah memberi gambaran marahnya tentang kezhaliman yang di lakukan oleh sekelompok makhluk. Makhluk remeh yang tak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Pencipta. Makhluk yang sombong, hanya karena kekuatan semu yang dimilikinya.
Di tengah terik, para Marsose bengis itu masing-masing menyandang senjata kebanggaan, dengan pongah mereka menatap mangsa baru yang hendak diserahkan pada maut.
“Kau masih tak ingin mengatakan dimana Ahmad Farhan, heh?” ancam seorang Marsose kepada Iskandar.
“Maaf, Tuan, saya tidak tahu. Saya benar-benar petani, Tuan” jawabnya.
BUG !!!
Satu hantaman telak mengenai mata yang telah balu sebelumnya. Iskandar meringis, makin kencang dzikirnya di hati.
“Dengar, orang kampung! Kami masih berbaik hati padamu. Satu kali kesempatan lagi kami berikan padamu. Jika kau masih tetap diam, kau tak kan tau dari senjata mana peluru yang masuk ke jantung mu” bentak Marsose. Tentara penjajah lainnya, tertawa beriringan, seolah pagelaran komedi sedang menghibur mereka.
“Saya benar-benar tidak tahu, Tuan, saya petani”jawab Iskandar lagi.
Allah, seandainya sebentar lagi hambaMu ini Engkau panggil untuk menghadapMu, hamba siap Ya Allah... Ridhai perjalanan hambaMu ini. Hamba serahkan segalanya, namun jika waktunya bukan sekarang, selamatkan Hamba, Ya Rabb......
“Baik kalau kau pilih begitu. Dasar orang kampung bodoh! Rey, tutup matanya” intruksi Marsose itu.
Iskandar hanya bisa memberontak lemah mencoba melepas ikatan tangannya yang tertempel pada kursi yang ia duduki. Sia-sia, ikatan itu begitu kuat. Marsose yang dipanggil Rey menutup mata Iskandar. Dengan tenaga yang tersisa, Iskandar mencoba membuka ikatan itu tapi gagal lagi.
Seketika, dunia menjadi gelap di mata Iskandar. Yang terdengar hanya derai tawa para Marsose yang ada di hadapannya tadi, seolah ingin mengejek tentang pilihan yang ia putuskan.
Iskandar memejamkan matanya yang telah gelap. Allah, ampuni hambaMu yang tak bisa meneruskan perjuangan ini... Hamba benar-benar pasrah pada ketentuan Mu..
Suara tembakan akhirnya terdengar juga, ia pejamkan matanya kuat-kuat menyambut peluru itu. Dzikir di lisan dan hatinya semakin memacu.
Suara tembakan semakin terdengar brutal. Iskandar merasa waktu berjalan lambat. Kemudian dia tersadar, kalau peluru-peluru itu bukan mengarah kepadanya, meski desingan timah panas terasa melewati.
Tak lama, terdengar suara teriakan kesakitan, ia tak tahu itu suara siapa. Ada apa ini? Iskandar heran, kenapa sebutir peluru pun tidak menembus tubuhnya. Apa yang terjadi?
“Allahu Akbar !!”
Di tengah golakan batinnya yang terus menjerit menuturkan pertanyaan-pertanyaan, terdengar olehnya pekikkan takbir yang bersahut-sahutan. Sepuluh orang, dua puluh orang, ah mungkin lebih.
Tiba-tiba suara di sekitarnya menjadi gaduh. Batinnya masih tak mengerti apa yang terjadi. Tunggu, suara takbir pertama tadi? Jangan-jangan itu suara Ahmad Farhan.
“Serang !!!”
Terdengar suara lagi. Kali Iskandar kenal suara itu. Itu suara penjajah yang mengintrogasinya tadi. Mendadak suara menjadi bergemuruh. Tak berapa lama, ikatan tangannya mengendur, ada yang melepaskannya. Setelah tangan penuh luka itu terbebas, segera Iskandar melepas penutup matanya.
Allahu Akbar!! Terlihat pemandangan ajaib dimatanya. Tentara Marsose yang hanya sekitar 20 orang diserang oleh manusia ratusan orang. Siapa mereka? Pasukan Ahmad Farhan, tak sebanyak ini.
“Assalamu’alaikum, kau tidak apa-apa?” sapa suara yang tak asing baginya, pemilik suara itu rupanya yang melepaskan ikatan tangan iskandar.
“Alaikumsalam Ustadz. Alhamdulillah tidak apa-apa” jawab Iskandar. Senang rasanya bisa bertemu sosok ini lagi.
“Ustadz, tahanan telah di bebaskan” teriak seseorang dari belakang. Ahmad Farhan mengangguk.
“Mundur!!!” teriaknya membahana.
“Allahu Akbar” jawab seluruh pasukan serentak.
***
“Salah satu geriliyawan mendengar, kalau kau akan di hukum mati siang ini. Kami, yang semula akan menyerang nanti malam terpaksa mengatur strategi baru. Tapi dengan pasukan yang jumlahnya hanya sedikit ini, tak mungkin bisa melawan penjajah yang kuat di siang hari. Untunglah penduduk disini, yang sudah gerah dengan tingkah penjajah mau membantu” kata Ahmad Farhan menjelaskan.
Mereka saat itu tengah berkumpul di Masjid, setelah menunaikan shalat zuhur berjamaah. Iskandar tertunduk mensyukuri semua pertolongan yang telah Allah berikan kepadanya. Batinnya terus melayangkan doa kepada Allah, bersyukur akan kesempatan berjuang yang masih disediakan. Suatu saat, ia akan menceritakan kisah perjalanannya kepada generasi penerusnya. Tentang biadabnya para penjajah yang merampas tanah ini. Tentang, perjuangan para mujahid yang bukan sekedar pahlawan.

Kamis, 10 Agustus 2006
Azizah Yuindra
(1) Ada Marsose di perbatasan, mereka sedang menuju ke sini, cepat lari.
(2) Kamu

*Telah Dibukukan dalam Kumcer "Bidadari Dari Bajau"
Read More..

Akhir Sebuah Jalan

Seorang tua duduk dengan raut serius di balik meja kerjanya. Uban di kepalanya tak menutupi ketampanannya. Mungkin karena keriput belum sepenuhnya menjalari wajah. Yah, belum terlalu tua. Cukup muda untuk seukuran gelar yang terukir di atas papan nama di meja kerjanya. Abraham Carlivan. Seorang Perdana Menteri.
Malam baru hinggap. Bau asap makan malam setidaknya masih tercium. Si lelaki tua itu benar-benar disibukkan aktivitasnya. Sesekali tangan kanannya mencoret-coret tulisan berupa tanda tangan di beberapa kertas. Kedua matanya sibuk membaca tebaran kertas di mejanya. Hingga tiga ketukan dari pintu masuk ruang kerjanya terdengar.
“Excuisme, Sir,” terdengar suara seorang wanita di luar sana.
Mr. Carlivan seperti telah mengenal suara itu. Agak lambat ia berpikir. Sebenarnya saat ini dia sedang tak ingin diganggu.
“Masuk!” perintahnya.
Pintu itu terbuka. Seorang wanita berblazer rapi dengan rok agak mini mengagguk dan masuk beberapa langkah.
“Ada yang ingin bertemu, Sir,” katanya tegas.
“Siapa?” tanya Carlivan.
”Seorang pemuda yang tak mau menyebutkan namannya,” jawab wanita itu.
”Pemuda? Ah, usir saja. Aku sedang tak ingin diganggu,” jawab Carlivan agak tersinggung. Ia kira ada seorang penting yang ingin bertemu dengannya.

“Tapi, dia bersikeras ingin bertemu dengan Anda, Sir. Dia bilang ingin memberi kabar tentang ‘si brengsek yang tak tertangkap’,” bantah wanita itu hati-hati. Sebisa mungkin ia berusaha agar tak salah mengingat kata-kata terakhir.
Carlivan mendelik setengah kaget. Namun, dengan cepat dia memperbaiki posisinya seelegan semula. Mau apa dia kemari?
”Baik, suruh ia masuk,” katanya singkat.
Wanita itu pun berlalu. Hati Carlivan masih diliputi tanya. Pintu kembali terbuka. Seorang lelaki bertopi masuk dengan santainya. Seperti teman lama yang baru bertemu. Namun, jika dilihat tentu saja itu tidak mungkin. Usia mereka lumayan jauh. Bisa dikatakan seperti ayah dan anaknya.
Tanpa disuruh, si lelaki duduk di hadapan Carlivan dan membuka minuman kaleng yang ada di lemari kecil di sebelahnya.
”Ada apa kau kemari?” tanya Carlivan dingin. Ia tak suka dengan sikap cueknya. Terlalu meremehkan seorang Perdana Mentri. ”Kau sudah berhasil menangkap si brengsek keparat itu?” lanjutnya tak sabar.
Pemuda itu menggeleng. Membuat Carlivan semakin geram dan kesal.
”Aku sudah bilang padamu, Josh. Jangan pernah kau datang kemari jika kau belum berhasil menangkap teroris sialan itu. Reputasiku sudah dianggap hancur saat ini, kau ingat? Yang tertangkap selalu penjahat kacangan. Aku ingin dia. Pemimpinnya,” bentak Carlivan setengah mengamuk. Dia tak peduli lagi dengan imagenya.
”Kau tenang dulu, Pak Tua. Aku belum bicara kan?” jawab Josh sesantai mungkin.
Carlivan menatap geram. Dengan sekuat tenaga ia kuasai emosinya. Jika ia tak ingat pemuda di depannya ini adalah seorang mossad licik yang cukup ditakuti, sudah ia usir dan pecat barangkali.
”Aku memang belum berhasil menangkap penjahat terhebat Abdurrahman As Shidiq itu. Dia sangat licik. Pengikutnya banyak. Hampir seluruh rakyat Palestina mendukungnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk menangkapnya,” jawab Josh tenang.
”Aku sudah bilang persetan dengan dukungan Palestina. Negara itu sebentar lagi hancur. Seluruh rakyat Israel telah dibayar supaya mau pindah ke Palestina. Jika Abdurrahman As Shidiq itu tertangkap, gerakan mereka akan kacau. Dan kita semua akan menang. Kau mengerti itu?” bentak Carlivan tak mau kalah.
Dia seudah geram dengan aksi pemberontakan Palestina sejak dulu. Negara sialan yang berani menentang Israel Raya. Dia bersumpah akan memusnahkan Palestina.
”Iya, aku tahu. Jangan remehkan aku, Sir. Aku yang bergulat dengan tentara Hamas di bawah sana. Bukan kau yang hanya duduk di balik meja besar ini. Aku tahu betul seluk beluk gerakan mereka,” suara Josh menekankan.
Carlivan terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Josh tadi. Dia yang telah memilih Josh sebagai ketua dalam Tim khusus untuk menangkap Abdurrahman As Shidiq, yang konon tangan kanan setia teroris terkemuka Osamah Bin Laden. Carlivan tau betul isi otak Josh. Sanggup melakukan apa saja untuk mendapatkan uang yang banyak. Namun, ia bukan pekerja kacangan yang mungkin visi mereka sama dengan visi Josh tadi. Kerjanya benar-benar profesional.
”Aku memang belum berhasil menangkap Abdurrahman itu. Tapi aku berhasil menangkap orang yang sangat dekat dengannya. Tangan kanannya sekaligus menantunya. Fakhrul Ahsan,” suaranya meninggikan nama terakhir.
Carlivan terbelalak tak percaya. Fakhrul Ahsan adalah nama kedua yang ia cari setelah Abdurrahman As Shidiq. Motor penggerak yang sangat berpengaruh di Palestina. Seorang bekas panglima perang HAMAS.
”Kau, kau serius telah menangkapnya?” tanya Carlivan tak percaya. Josh mengangguk dengan malas. Dia sedikit kesal Carlivan tak mempercayainya.
”Di penjara bawah tanah,” jawab Josh.
”Wow, luar biasa. Kau menyelamatkan karierku, Josh,” Carlivan memekik girang. Ini benar-benar sebuah kejutan.
Fakhrul Ahsan telah tertangkap. Ia tahu betul ikatan antar sesama muslim di Palestina. Mereka sanggup menukar apa saja demi saudara mereka. Atau mungkin juga demi orang lain. Fakhrul Ahsan adalah orang yang terdekat dan mungkin juga yang paling disayangi Abdurrahman As Shidiq. Langkah selanjutnya akan terasa ringan. Karena pemerintahannya, ia berhasil merebut Palestina. Dunia akan bangga pada mereka, karena telah menundukkan negeri agama teroris itu.
***
”Di bawah sini, Sir. Di penjara khusus,” ujar josh menuntun Carlivan memasuki lift.
Mereka turun hingga bawah sekali. Berada di lift jadi terasa membosankan. Carlivan yang mengusulkan mendirikan penjara khusus, untuk orang-orang yang benar-benar pembangkang. Termasuk Fakhrul Ahsan. Yah, dia pantas di sini.
Mereka tiba di dasar. Gelap dan sunyi. Yang terdengar hanya suara air yang menetes. Keramaian jauh berkilo-kilo di atas sana. Josh menyalakan obor dan berjalan dengan suara decitan sepatu yang menginjak lantai yang lembab. Tidak ada apa-apa kecuali tiga pintu di sana.
Josh melangkah ke salah satu pintu dan membukannya. Sengaja tidak ada penjaga, karena tidak akan ada yang sanggup tinggal sehari di sana. Atmosfir dan gravitasi sangat rendah. Pikiran terasa melayang. Otak tidak akan mampu berpikir optimal. Semua semangat mengendur. Yang tertinggal hanyalah rasa pesimis. Benar-benar penjara yang mengerikan.
Mereka berjalan melewati beberapa kamar berjeruji besi. Ada enam tepatnya. Satu kamar berpenghuni satu orang. Jangan dikira antar penghuni sel akan bisa berkomunikasi. Jarak yang terbentang cukup jauh. Cukup menghabiskan tenaga jika berteriak ingin berbicara. Mereka seakan sendiri. Di ruangan yang nyaris membuat mereka gila. Tidak, pada akhirnya mereka benar-benar gila dan mati. Sungguh pantas untuk para teroris yang berbahaya.
Semua penghuni jeruji besi terdiam. Tak beranjak meski ada yang datang. Entah sibuk memikirkan apa. Entah berada di hayalan mana. Mereka sampai di ruang terkahir. Seorang pemuda tampak lesu duduk di sana.
”Kau senang di sini, Fakhrul Ahsan?” tanya Carlivan pada si pemuda. Fakhrul Ahsan tetap diam.
Josh membukakan pintu jeruji. Carlivan masuk dan mendekati. Josh bilang sudah dua hari ia masuk ke sini. Otaknya sekarang benar-benar hilang fungsi. Mendengar pun sepertinya tak sanggup.
”Kasihan sekali nasibmu. Sekarang kau harus mengakui, Israel lebih hebat dari kalian. Kalian hanya segilintir orang sombong pengikut agama kejam. Sebentar lagi Palestinamu akan hancur dan benar-benar tak akan tertera di peta dunia manapun,” ujar Carlivan bangga.
Carlivan terbahak. Hatinya benar-benar senang. Suaranya membahana ke penjuru ruangan. Tiba-tiba, Fakhrul Ahsan bangkit dan meninju Carlivan.
”Allahu Akbar!” Carlivan terjengkang ke belakang.
Carlivan tak habis pikir. Bagaimana bisa? Seharusnya ia tak punya tenaga lagi. Belum sempat ia berdiri, Fakhrul Ahsan bergegas keluar. Josh menyambut dengan mengunci kembali jeruji itu dan mengurung Carlivan di ruangan itu. Carlivan berlari ke arah pintu.
“Josh, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku. Kau membiarakan seorang penjahat kabur,” Carlivan mengguncang-guncangkan jeruji itu.
“I am a muslim, Sir. Bukan Josh. Tapi Jarrash. Umar Al Jarrash,” kata Josh tiba-tiba. Carlivan terkejut.
“Pengkhianat. Kau benar-benar bodoh mau bergabung dengan mereka. Agama mereka monster, Josh. Kau akan menjadi pembunuh. Teroris, sama seperti mereka,” Carlivan berteriak.
“Kalian yang pembunuh. Sudah cukup aku menyaksikan kebiadaban kalian menyiksa rakyat tak bersalah demi kepuasan kalian. Kukira Yahudi benar-benar menjadi juru damai dunia. Kalian tak lebih dari seekor anjing berkepala dua. Sudah cukup kesenanganmu menghina agama Allah. Sekarang kau bisa lihat, kebenaran yang akan berkibar. Islam yang menang. Bukan kau, penjahat. Selamat tinggal perdana menteri yang agung,” jawab Josh agak berteriak.
Ia pun berlalu meninggalkan Carlivan yang memberontak. Fakhrul Ahsan mengikutinya. Matanya hampir leleh dengan air mata. Selamat datang Al Jarrash. Islam kembali bangga, sama saat seperti saat Sayyidina Umar Bin Khathab menerima hidayah. Sungguh, Engkau memberi hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki, Rabb.
***
“Semua pasukan di Gaza telah ditarik. Juga di timur Palestina. Carlivan mendengar saranku untuk menarik pasukan karena Fakhrul telah tertangkap. Alhamdulillah. Perdana menteri kejam itu mungkin telah gila di penjara yang ia buat sendiri. Tidak akan ada yang tahu ia ada di sana kecuali kalian. Aku telah mengurusnya. Yang mereka tahu, Carlivan kabur dari jabatannya karena malu reputasinya telah hancur,” jelas Jarrash di majelis itu.
Semua yang hadir berteriak takbir dan dzikir. Air mata mereka mengalir. Semua bersujud di hadapan Allah atas apa yang telah Allah kirimkan kepada mereka.
“Semoga Allah merahmatimu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah memilihmu menjadi orang-orang yang ikhlas berjuang di jalan Allah,” doa seorang tua yang akrab dipanggil Syekh Abdurrahman As Shidiq kepada Jarrash.
“Hanya itu yang bisa aku lakukan, Syekh. Dosa-dosaku terlalu banyak. Tangan ini telah membunuh jutaan nyawa. Telah merampas ribuan kehormatan. Aku merasa tak pantas untuk diampuni.” Kini giliran Jarrash yang menangis.
“Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Jika kau benar-benar ingin bertaubat, Allah pasti akan mengampuni. Seorang Umar pun juga melakukan kesalahan yang juga nista sebelum hidayah datang padanya. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang bertaubat dan berbuat kebaikkan. Malah ia yang menjadi mujahid terdepan dan menjadi salah satu shahabat terdekat Rasulullah saw,” hibur Syekh Abdurrahman.
Jarrash benar-benar bersyukur bisa diselamatkan oleh Allah. Ia terbayang saat dia hendak menangkap Fakhrul Ahsan. Senjatanya telah siap ingin menembus dadanya. Namun, tiba-tiba sabetan pedang menghantamnya dari belakang. Beberapa orang mengeroyoknya. Ia tak kuasa melawan.
Ia benar-benar merasa itu akhir hidupnya. Seorang di antara mereka berbalik hendak menghujamkan pedang ke dadanya. Namun, sebuah tangan menahan. Tangan dari orang yang tadi hendak dibunuhnya.
“Jangan. Rasulullah melarang membunuh karena emosi. Kau sedang marah Zaid. Lagipula, dia sudah tidak berdaya. Tidak baik melawannya,” ujar Fakhrul Ahsan.
Hati Jarrash benar-benar tertegun. Muslim yang ia kira selama ini tak berperikmanusiaan, ternyata membawa ajaran yang baik. Jarrash meminta mereka untuk mengobatinya, karena ia sudah tak sanggup berjalan. Jarrash benar-benar terpukau oleh keindahan akhlak mereka. Jauh dari kesan teroris yang diumbarkan dunia barat.
“Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Kalian duluan yang menyerang kami, tentu saja kami mempertahankan diri. Kami adalah bangsa yang mempunyai izzah. Kami tidak takut kecuali kepada Allah. Kami akan terus bertahan hingga apa yang menjadi hak kami kembali. Kami yang dirampas, kami yang dizhalimi, bukan kami yang teroris,” ujar Fakhrul Ahsan menjelaskan kepada Jarrash.
Setetes embun menyusup ke hatinya. Sangat damai. Dengan mantap, ia memproklamirkan kemuslimannya di hadapan Fakhrul Ahsan. Ia telah bersyahadat dan merubah namanya menjadi Umar Al-Jarrash.
Bintang tersenyum melihat hamba-hamba Allah malam itu bersujud dan bemunajat kepada Allah. Ia iri pada khalifah di Bumi, yang dibanggakan Allah di hadapan malaikat dan seluruh alam. Keikhlasan mereka, menambah terang panji Agama Allah yang berkibar di seantero alam. Bintang ikut bertasbih, memuji kebesaran-Nya. Rabbul seluruh Alam.
Read More..

Skizofrenia

Tusuk punggung kakakmu dengan pisau itu. Oh tidak, suara itu datang lagi. Sesaat aku tertahan oleh nurani yang tidak mau menuruti suara itu.
Sekarang, Welza. Sekarang! Suara itu kembali memaksaku melangkah mendekati Kak Riri yang sedang tilawah.
Tusuk Welza! Sekarang. Dia yang telah membunuh ayahmu. Tusuk. Suara itu terus menitah saat aku tepat berada di belakangnya.
Perasaanku kembali berkecamuk mengingat peristiwa itu. Saat Ayah harus meregang nyawa akibat kecerobohan Kak Riri. Tanganku pun mulai mengayun hendak menikam. Mataku memanas berpeluh dendam.
Namun, suara indah lantunan ayat suci yang dibaca Kak Riri sayup terdengar, membuat kesadaranku pulih dan bertarung dengan suara mengerikan itu. Ragu, kuhentikan jua mengayunkan pisau.
Jangan takut, Welza. Tusuk sekarang! Terdengar kembali suara yang entah dari mana datangnya.
Tidak... Tidaaakk. Nuraniku membantah. Gerak refleks memaksa sumsum tulang belakangku untuk melepas pisau itu. Aku pun berlari menjauh. Meninggalkan pisau yang terjatuh.
Kau pengecut, Welza. Kembali. Bunuh dia! Dia telah membunuh ayahmu. Suara itu menggema menghantui pendengaranku. Secepat kilat kututup telinga dengan kedua tanganku. Berharap suara itu pergi.
“Jangaaann...!” aku berteriak mencoba melawan. Memaksaku bergelut di bawah meja makan, berusaha berlindung dari suara itu.
“Ya Allah, Welza. Kamu kenapa?” Kak Riri tergopoh menghampiri. Rupanya dia mendengar suara pisau yang kujatuhkan
Bunuh, Welza. Sekarang. Jangan jadi pengecut! Suara itu kembali lagi.
“Kak lari, Kak. Suara itu mau membunuhmu. Lari, Kak. Plis!” pintaku di sela deraian isak tangis.
Kak Riri pun pergi, namun sejenak kembali dan menghujamkan benda tajam di lenganku. Seketika dunia menjadi gelap di mataku.
***
Sinar matahari menyentakku bangun ke alam sadar. Sekujur tubuhku melemas.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar, Za,” suara Ibu yang basah terdengar. Kucoba memutar otak, merakit peristiwa apa yang terjadi. Sia-sia. Kepalaku semakin berdenyut memikirkannya.
“Apa yang terjadi ?” tanyaku. Kak Riri tengah memeriksa suhu badanku.
“Penyakitmu kumat lagi. Kamu hampir membunuh kakakmu,” jawab Ibu. Matanya nampak berair. Tangan lembutnya meremas jemariku yang dingin.
Huh, Skizofrenia Paranoid. Yah, penyakit itu yang Kak Riri bilang. Kak Riri adalah dokter umum di kotaku. Penyakit yang sangat kubenci.
Kupejamkan mata yang lelah, seolah ingin membayangkan apa yang telah kulakukan. Di sisi kecil hati, aku bersyukur peristiwa itu tidak terjadi. Tak dapat kubayangkan, badan Kak Riri terbujur kaku di hadapanku. Sebutir air bening mengalir.
“Nggak apa-apa, Za. Mungkin kondisimu lagi labil aja kemarin,” ujar kak Riri sembari menyapu butiran bening itu dari mataku.
***
“Wa’alaikum salam. Eh Riri, ayo masuk!” sapa ramah seseorang saat aku dan Kak Riri mengucap salam di depan sebuah rumah sederhana nan luas. Wanita muda itu mengulurkan tangannya mengajak berjabat.
“Welza, ini kak Ernie, yang kemaren kakak ceritain,” ingat kak Riri.
Kak Ernie adalah teman SMA Kak Riri, yang sekarang sudah menjadi seorang psikiater. Kalau bukan karena tidak enak dengan kak Riri, malas aku datang ke tempat ini. Memangnya aku gila.
“Kakakmu udah cerita sedikit kok, Za. Tenang aja. Di sini bukan tempat orang gila kok. Dan Kakak juga yakin kalo Welza tidak gila,” sahut Kak Ernie menebak pikiranku. Aku tersenyum. Entah menghibur, atau mungkin ngibul.
“Ernie, Welza terkena penyakit Skizofrenia Paranoid. Itu terjadi sebulan setelah Ayah meninggal dalam kecelakaan mobil. Saat itu, dia merasa akulah penyebab kecelakaan itu. Hingga pada suatu saat, dia berubah total. Menarik diri dari orang banyak. Dan mengaku sering mendengar suara-suara aneh dalam pikirannya. Yang paling parah, dia sudah enam kali hampir membunuhku,” jelas kak Riri. Yah, enam kali.
Aku juga tak tahu kenapa bisa seperti itu. Yang aku ingat, aku hanya ingin melupakan almarhum Ayah. Namun suara itu datang menghiburku dan menguasai setengah jiwaku.
“Sebelumnya pernah ke psikiater?” tanya kak Ernie.
“Sudah. Psikiater itu bilang, penyakitnya kumat jika ia banyak melamun,” jawab Kak Riri.
Kak Ernie meminta agar dia dan aku bisa berbicara empat mata di ruang tertutup. Setelah anggukan iya dari Kak Riri, aku pun dibawa ke perpustakaan pribadi milik Kak Ernie.
“Apa yang dikatakan suara-suara itu, Welza?” tanya Kak Ernie saat kami telah duduk berhadapan.
“Dia menyuruhku untuk membunuh Kak Riri. Dia bilang Kak Riri yang membunuh Ayah,” jawabku jujur. Aku menanamkan sedikit kepercayaan padanya, dengan harapan dia bisa menyembuhkanku.
“Dan kau tidak sadar?” tanyanya kembali.
Aku menggeleng. Seandainya aku sadar, mana mungkin aku mau membunuh saudaraku sendiri.
“Apa tanggapan teman-temanmu di sekolah?” tanyanya lagi.
Deg. Aku tak kuat menahan bendungan air di mataku. Kak Ernie mencoba menenangkanku. Sedikit demi sedikit aku keluarkan juga cerita itu.
Suara itu muncul saat Kak Riri ke sekolah hendak mengambil raporku sebulan setelah kematian Ayah. Tiba-tiba suara itu datang, merayuku membunuh Kak Riri dengan batu runcing di halaman depan sekolah. Aku pun membabi-buta mengejar Kak Riri yang ketakutan.
Seisi sekolah tercengang. Ada yang bilang aku kesurupan, ada yang bilang aku gila, dan perkataan lain. Aku baru sadar saat kepalaku terhempas ke tanah karena terjatuh saat mengejar Kak Riri.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba untuk tidak melamun lagi dan bersikap seperti biasa. Namun, teman-temanku menjauh. Sebuah sikap yang sanggup mengiris hati ini. Saat aku butuh keceriaan mereka untuk membantu melupakan suara-suara itu, hampir tak ada anak yang mau bergaul denganku, karena takut aku akan menggila lagi. Itulah yang membuatku benci pada semua orang dan memilih diam. Ibu pun mengeluarkanku dari sekolah karena tak tahan aku di kucilkan oleh teman-teman.
Aku masih menangis saat Kak Ernie membelaiku laksana adiknya sendiri. Aku tak berdaya menimbulkan kekuatan berbicara lebih banyak. Aku bingung, takut, dan menyesal.
Kak Ernie mengulurkan tisue padaku. Dengan terisak kuterima, dan mulai menyapukannya ke bawah mata. Beberapa airmata nakal tetap keluar meski aku sudah menyapunya. Kuhela napas. Berat. Berharap rasa itu hilang.
“Sudah agak enakan?” tanya Kak Ernie.
Aku mengangguk.
“Bisa dilanjutkan?” tanyanya lagi.
Tetap kujawab dengan anggukan.
“Apa yang Welza rasakan saat Ayah meninggal?” tanyanya.
“Shock. Welza sayang sama Ayah. Welza nggak mau Ayah mati,” jawabku kembali terisak.
Kulihat Kak Ernie mengangguk. Kustabilkan perasaan gundahku.
“Lalu suara itu datang?” tanyanya menebak.
“Iya, menghiburku dan mengajakku melupakan semuanya,” jawabku.
“Seharusnya Welza tidak menuruti suara-suara itu,” argumennya.
Aku tersentak. Dia pikir aku sengaja mau mengikuti suara-suara itu?
“Kalau Welza dari awal tidak mendengar suara-suara itu, penyakit ini tak akan timbul,” lanjutnya memvonis.
Apa salah aku mendengar suara yang bisa membuatku tenang? Membuatku merasa dihargai dan dimengerti? Aku tak minta suara itu datang. Aku tak minta dia menguasai setengah jiwaku. Namun, alasan-alasan itu hanya sampai di tenggorokan. Tak berani kulanjutkan.
“Insya Allah bisa sembuh. Asal janji, Welza mau nyuekin suara itu,” kata Kak Ernie. Aku tertegun. Sanggupkah aku?
“Kakak bersedia menjadi penggantinya. Menjadi teman curhat Welza,” hiburnya.
Lagi kuhela napas. Mungkinkah?
Tidak, Welza. Dia akan terus menyalahkanmu. Terdengar suara lagi. Tak bisa kutebak, nuranikukah yang bicara, atau?
Kak Ernie melangkah ke arah rak. Mungkin ia mencari buku tentang penyakitku. Tak sengaja mataku melirik ke atas sebuah meja. Tepat di samping komputer, sesuatu yang berkilat menarikku melangkah ke sana.
Ambil, Welza, perintahnya. Aku beranjak pelan menuruti perintah suara itu. Sesaat, diriku berubah menjadi sosok lain dengan kepala penuh kebencian. Otakku mengecil. Tak bisa berbuat apa-apa. Dengan ringannya, kutancapkan pisau di punggung wanita yang sedang mencari buku itu. Sebuah suara menyadarkanku. Suara sakitnya kematian.
Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini? Otakku terlambat memikirkan. Terhuyung aku mundur dengan belati berdarah di tangan kanan.
“Ya Allah, Ernie!” Kak Riri masuk, mungkin ia mendengar suara Kak Ernie tadi.
Tajam tatapannya melesat menembus retina mataku, menuju otak belakang. Tatapan menuduh. Aku menggeleng. Lalu, gelap.
***
“Bukan salahku. Bukan salahku. Bukan salahku,” ucapku berulang-ulang. Kupeluk kakiku dengan tangan lesu.
“Dia mengidap kelainan jiwa, Pak,” terdengar suara. Batinku terasa sulit mencernanya. Yang terpikir hanya; bukan salahku.
“Kalau begitu, dia tidak mungkin kita penjarakan. Tolong rawat dia, Dok,” suara lain terdengar.
Airmataku menetes. Bukan salahku, batinku menjerit.

*Telah dimuat di majalah Sabili Edisi Sep 07
Read More..

Terbilang sesal

Mataku terbuka setengah sadar. Kuayunkan tanganku ke pelipis nan berdenyut. Sakit. Bingung kubertanya pada diri, di mana aku sekarang? Aku menatap wanita di sebelahku. Matanya menatap angin, kosong. Tubuhnya tertutup selimut. Kecuali pundaknya. Aku yakin, tak sehelai kain pun melekat. Yah, demikian juga aku.
Wanita itu sadar aku terjaga. Dengan lembut meraih jemariku dan menggenggamnya. Ya Tuhan, benarkah aku melakukan ini? Batinku mengutuk dan mencaci.
”Kenapa kamu melakukan ini, Gas?” wanita itu bersuara. Aku bingung mencari kata. Kenapa?
”Karena aku mencintaimu,” kalimat itu pun kujadikan jawaban. Aku malas mencari alasan. Aku malas berdebat sekarang.
”Kamu akan tanggungjawab kan?” matanya yang cemas menatapku. Aku meraih kepalanya dan menenggelamkannya kerengkuhanku. Sebuah kata iya, aku embuskan. Mata cantik itu pun terpejam di dadaku nan bidang.
Aku mulai mengulang tanyanya di batin. Kenapa aku melakukan ini? Inginku merengek pada Tuhan, meminta mengulang waktu yang terlanjur berlalu. Aku tak ingin menghancurkan perasaan Ibu yang menggantungkan banyak harapan padaku. Aku tak kuat menatap Bapak yang telah hitam mukanya kubuat.
Aku pun mengingat masa itu. Saat aku baru bertemu dengannya. Si cantik dan cerdas, yang membuat semua lelaki di kampusku mengangankan berposisi di hatinya. Aku kagum akan kecerdasan itu. Aku suka wajah cantik itu. Dan aku pun memberanikan diri mengutarakan cintaku.
Ajaib, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Ia menerimaku menjadi pangeran di hatinya. Dengan bangga kuumumkan pada semua, Nesya adalah pacarku.
Aku bahagia bersama dengannya. Hari-hariku penuh cinta dibuatnya. Seorang teman berkata, sungguh pantas kuberada di sebelahnya. Bagas Permana, pebasket andalan kampus dan Nesya Rianti, ketua English Club fakultas.
Ah, cinta, cinta. Aku perlu mengulangnya setiap hari saat bersamanya. Namun, aku tak bohong. Aku benar-benar cinta padanya. Kurelakan tak ikut kuliah demi menjemputnya di salon atau di manapun. Aku sisihkan uang dari Bapak tuk penuhi keinginannya. Aku merasa itu sebanding dengan begitu indahnya ia mengisi hari-hariku.
Sayang, aku terjebak. Aku dahulu lupa kalau aku adalah lelaki. Semakin lama kejantananku muncul. Aku tak tahan dengan suguhan bahunya yang mulus. Aku mengutuk pakaian itu. Yang membiarkan bagian atas dadanya terbuka. Namun, aku tak bisa berkilah. Aku menikmatinya.
Aku juga tak bisa bohong, bahwa aku suka tubuhnya. Aku suka saat ia memamerkan betis indahnya. Saat ia menyilangkan satu kakinya di atas kaki satunya, yang membentuk satu belahan. Seringku hanya menelan ludah, mengatur dadaku yang bergemuruh.
Sungguh, aku beralasan semua bukan sepenuhnya salahku. Ia yang buat hatiku kebat kebit, saat desahan nafasnya memutar dan menggelitik saraf pendengaranku. Kebiasaannya yang menggelayut manja di pundakku, membuat desiran cinta itu menderas. Atau caranya tersenyum indah padaku. Aku merasa sempurna.
Bukannya aku tak ingin menahannya. Ribuan cara kulakukan agar tak kuturuti napsu biadab. Tapi, salahkah aku yang tak kuat dengan suguhan-suguhan menakjubkan itu?
Aku teringat satu temanku. Rahmat. Saat Nesya datang kulihat wajahnya menunduk. Saat Nesya menegurnya, ia jawab tanpa melihat. Saat diulurkan tangan halusnya mengajak berjabat, ia balas menelungkupkan kedua tangannya di dada. Ah, itukah yang sering kausebut menjaga diri, Sobat? Aku menyesal terlalu sombong dengan berkata aku tak akan terjebak nafsu syaitan. Aku menyesal. Sungguh, menyesal.
Ah, Rahmat yang menawan. Dulu aku sempat mengoloknya gay, karena ia tak mau berpacaran. Aku takjub padanya. Ia tahu akibat apa yang akan terjadi. Betapa malunya aku jika ia tahu kejadian ini.
Aku kembali menatap wajah cantik itu, yang pulas di dadaku. Perasaan sesalku memudar. Toh kami suka sama suka. Ini normal, Gas. Suara-suara itu entah dari mana. Menenangkan perasaanku yang kecewa. Kembali ku jalankan prinsipku. Biarkan seperti air mengalir. Yang terjadi esok, silahkan terjadi.
***
Seterusnya berjalan normal. Malah, simpulku aku makin jatuh cinta padanya. Sejenak, terlupakan rasa sesal yang dahulu sempat melanda.
”Hai, boleh pinjam Bagasnya nggak?” sapanya pada teman-temanku. Aku tersenyum menyambut bidadari hatiku. Gemuruh sorakan terdengar. Aku tak peduli. Kuikuti langkah anggun itu menjauh. Yah, latihan basket pun telah usai.
”Kemana, sayang?” tanyaku mesra. Kurangkul bahunya yang terbuka.
”Ke cafe bentar,” jawabnya menyebut tempat favorit kami.
Kami pun duduk saling berhadapan. Setelah minuman tersuguh, dan basa-basi kecil terbilang, ia menatapku serius.
”Gas, kamu benarkan cinta sama aku?” tanyanya. Aku tersenyum kecil. Geli menatap mata jenakanya saat serius.
”Ih, Bagas ah. Aku serius. Kamu cinta nggak sama aku?” ulangnya.
Aku makin deras tertawa. Membuat siluet cemberut terukir di wajah cantiknya.
”Kok nanyanya gitu sih? Masa masih belum percaya?” jawabku di sela tawaku.
“Kalau gitu, nikahi aku,” ujarnya polos. Tawaku terhenti. Aku? Menikah?
“Aku mencintaimu, Sayang. Tapi, tunggu aku dapat kerja ya. Aku janji akan menikahimu. Apa siy, yang nggak kuberikan buatmu, Cinta?” senyumku merayu. Menikah tak semudah yang ia pikir.
”Aku hamil, Gas,” ujarnya datar. Aku benar-benar terdiam. Hamil?
”Dulu kau pernah janji akan bertanggung jawabkan?” desaknya disela isak tangisnya.
Aku menelan ludah. Teringat usia kuliahku yang baru dua tahun. Biaya hidupun semua dari Bapak. Bagaimana aku bisa menafkahinya?
”Iya, aku janji. Tapi nggak sekarang. Aku belum siap,” jawabku menenangkan.
Tangisnya menderas. Aku menatap sekeliling. Sepi, untunglah. Kubelai tangannya menenangkan.
”Orang tuaku belum tahu. Tapi, sampai kapan? lambat laun pasti mereka sadar,” masih di sela isak tangisnya. Matanya yang berair, mendung. Aku gelisah. Bagaimana ini?
”Iya, tapi...”aku menggantungkan ucapan. Bingung mencari alasan. Duh, apa yang harus kujawab. Sungguh tak mungkin aku menikah sekarang. Biayanya terlalu besar. Dan aku tak punya tabungan sepeser pun. Sebersit ide mencuat.
”Bagaimana jika kau gugurkan?” tanyaku menimbang. Tangisnya makin keras. Aku makin bingung menghadapi. Duh, seandainya aku bermimpi.
”Sayang, kita gugurkan dulu. Nanti setelah dapat pekerjaan, aku akan langsung melamarmu. Aku janji,” jelasku memberi harapan. Lagi, tak pasti.
Isakannya mereda. Terangguk lemah ia setuju. Aku menghela nafas. Apa lagi ini? Setelah zina, kau jadi pembunuh? Suara demi suara mengecamku. Terpahit getir aku membayangkan makhluk mungil tak berdosa itu. Sesosok kecil yang seharusnya memanggilku ayah. Sesal itu datang lagi. Selalu terlambat.
Read More..